MANUSIA IDEAL DAN MISKONSEPSI SOSIAL

MANUSIA IDEAL DAN MISKONSEPSI SOSIAL

Essay: Kumpulan Kata Atas Kegabutan Haqiqi

Jika ada sumur di ladang, bolehlah kita menumpang mandi

Jika ada umur panjang, bolehlah kita saling mencintai.....eh


- - - -

Setiap hal selain Allah adalah makhluk, dan Allah sendiri yang mengatakan bahwasannya manusia adalah makhluk yang paling sempurna. Tentu saja paling sempurna, mereka bisa memilih hidupnya untuk menjadi sepenuhnya mengabdi atau sepenuhnya hina. Dalam semesta Allah, hanya jin dan manusia-lah yang menjadi makhluk kemungkinan, yakni bisa baik dan bisa buruk. Hal demikian berbeda dengan malaikat dan setan, di mana mereka pasti paik dan pasti buruk.

Selalu ada kaitan pada satu makhluk dan makhluk lainnya, pada Islam juga diajarkan trinitas hubungan, yakni hubungan dengan Allah, hubungan dengan sesama manusia dan hubungan dengan alam. Ketiganya harus seimbang, dan perkataan bahwasannya asal kedekatan dengan Allah saja cukup, maka semua akan terangkat. Pernyataan demikian bisa menimbulkan kesalah pahaman. Sebab banyak sekali orang yang handal berzikir, sholat dan mengaji tapi dengki pada sesama manusia atau tidak peduli dengan kehidupan sosialnya. 

Sebab di sini, hubungan dengan Allah yang dimaksud adalah aplikasi hidup. Islam adalah alat untuk mendekatkan diri pada Allah. Bisa dikatakan bahwasannya Islam adalah aplikasi hidup, dimana setiap orang yang memegangnya harus siap dan berani menjalankan perintah dan larangan—namun jika dalam konsep Islam tidak hanya sekadar perintah dan larangan, melainkan ada sunnah dan makruh juga syubhat yang harus dijalani.

Manusia diciptakan untuk beribadah, namun ibadah di sini diartikan hanya sekadar wajib dan tidak, larangan dan sebagainya. Malah masyarakat umum menganologikan ibadah sebagai sholat dan hal-hal yang ada dalam rukun Islam. Namun untuk menjadi manusia ideal tidak sebatas menjalankan perkara wajib dan menjauhi apa yang dilarang. Melainkan ada banyak hal yang perlu dikontemplasikan. Hal itulah hang sering disalah artikan oleh masyarakat.

Menjadi manusia ideal sendiri bisa saja dengan menerapkan prinsip Islam yakni sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat untuk sesama. Namun kata bermanfaat juga sangat sulit dipahami dan mendapatkan arti ambigu. Ada yang mengatakan bahwa bermanfaat secara tidak langsung adalah orang yang dapat dimanfaatkan, atau seseorang yang mau menolong dengan ikhlas dan tanpa biaya sepeser-pun. Sebab di sini kata bermanfaat lebih dikonotasikan pada tindakan percuma dari seseorang dan hanya mementingkan keridhoan Allah secara membabi buta dan menghiraukan kepentingan lainnya. 

Hal demikian juga paradoks, bisa dikatakan benar namun secara tak langsung menjadi aliran jabariyah, atau fatalisme akut. Dari tiga hubungan tadi, yakni Allah, manusia dan alam secara tidak langsung memberikan gambaran akan keseimbangan yang harus dijaga, dan menyeimbangkan ketiga hal itu maka bisa dikategorikan seseorang atau individu sebagai manusiai deal. 

Banyak orang yang hanya memperdulikan dua hal saja yakni hubungan dengan Allah dan hubungan dengan manusia. Sedangkan hubungan dengan Alam sering terlewatkan dan bahkan terlupakan. Namun kasus umumnya banyak orang kebinngunan bagaimana hubungan dengan alam itu, mereka sering mangatakan bahwasannya hubungan dengan alam adalah menanam atau merawat suatu pohon dan sebagainya. Ada benarnya, namun permasalah sejati bukan demikian, melainkan tidak adanya kemauan ke sana. 

Hubungan antar manusia dan alam yang sering tidak dipahami itu-lah yang membuat manusia terhambat menjadi manusia ideal. Kebingungan selanjutnya pada hubungan tersebut adalah, cara pengimplementasian dan mereka merasa seperti alam sebagaimana alam itu berlaku, dan memang baru tersadar atau bahkan baru pertama tau bahwa hubungan manusia dan alam itu ada. Bahkan dalam pernyataan bahwasannya manusia adalah pemimpin alam, kata alam lebih diartikan sebagai keseluruhan makhluk. Dalam makhluk sendiri mereka lupa dan bahkan tidak tau bahwasannya alam juga makhluk, sebab makhluk yang ada dalam benaknya adalah manusia, jin, malaikat, setan. Bahkan perbedaan jin dan setan kadang sering tidak dipahami.

Sampai sini jelas, yang menjadi pembatas untuk menjadi manusia ideal adalah pola pikir atau intelektual serta pemahaman manusia sendiri yang terbatas. Hal itu disebabkan oleh kecenderungan yang materialis dan skeptis pada agama, menjadikan agama sebagai cambuk atas dirinya. Manusia semakin lari dari nilai-nilai spiritual, dan mengakatakan manusia ideal sebagai manusia yang memiliki kemapanan ekonomi dan sosial.

Kemudian, dalam modul dikatakan akan iman dan hal-hal lain yang berkaitan dengan itu. Iman berarti percaya, berbeda konsepnya jika berbicara tentang syarat masuk Islam, yakni bersaksi bahwasannya tiada Tuhan selain Allah. Jelas kedua hal tersebut berbeda, dan dalam sebuah diskusi, maka hal demikian akan masuk dalam diskusi falsafah oriental. Di mana hal itu berarti tidak semua orang dapat menerimanya, meski hal tersebut adalah fakta.

Melihat lebih jauh, apa perbedaan menyaksikan dan beriman, tentu saja sangat jauh berbeda dan secara proses struktural, percaya adalah akibat atau proses lanjutan dari bersaksi. Dalam analoginya, bersaksi adalah Andi memukul Dimas di tempat yang hanya ada mereka dan Lala. Kemudian Lala menceritakannya pada Naylin, dan dia mempercayai cerita Lala. Maka bisa dilihat, bahwasannya Lala menyaksikan kejadian atau peristiwa, baik mendengar atau secara visual. Sedangkan Naylin sekadar percaya.

Bisa dilihat perbedaannya, bagaimana Iman (percaya) dan bersaksi adalah dua hal yang berbeda. Hal ini penting, untuk menambah hubungan Allah, dan dalam implementasinya berkemungkinan besar menambah hubungan dengan manusia dan alam, sebab menyangkut proses kesadaran. 

Apakah manusia bisa terlepas dari pertanyaan demikian? Tentu saja tidak. Sebab dalam hubungan yang sebatas dengan Allah saja, orang-orang masih melakukan misskonsepsi. Mayoritas pemikiran orang demikian adalah yang penting beribadah dan sudah. Akan tetapi hubungan dengan Allah tidak hanya cukup dengan beribadah, namun mengerti akan Allah itu sendiri. 

Di sisi lain, apakah benar bahwa setiap muslim mengenali Tuhannya? Jawabannya sangat jelas, tidak. Sebab ada pernyataan “Barang siapa dia mengenali dirinya, maka sama halnya dia mengenali Tuhannya”, dan orang-orang selama ini mengatakan bahwa dia mengenali seluruh dirinya dan tentu saja hal itu bohong belaka. Sebab ada banyak ketidaksadaran dalam dirinya yang belum diungkap atau malah menolak diungkap. Hal itu menjadi tabir tersendiri untuk menjadi manusia ideal.

Permasalahan selanjutnya yang masih berhubungan dengan hal tersebut adalah, apakah etis meminta suatu hal pada seseorang yang tidak kita kenali? Berdasarkan pemahaman sebelumnya. Tentu saja tidak, kita hanya sebatas tau bahwasannya Tuhan itu bernama Allah, memiliki 99 sifat dan lain sebagainya. 

Namun apakah kita sebagai manusia benar-benar mengenalinya, jika sudah mengenalinya kenapa banyak dari kita terutama pemuka agama yang merasa dirinya hebat masih marah dan mengeluarkan emosi tidak berguna dan lain sebagainya. Sebab jika sudah mengenal Tuhan apakah etis untuk meminta banyak hal dan mengeluhkan sana sini untuk hal yang sudah ditakdirkan dan terjadi sebab diri manusia itu sendiri? Hal itu juga terjadi pada Sholat, bagaimana cara mendatangkan perasaan atas kehadiran Allah dalam sholat jika kita tidak mengenalinya?

Maka untuk menjadi manusia ideal adalah mengenali Allah, dengan berdasarkan haidst, yakni mengenali diri sendiri. Baik melalui perbaikan pada ketiga hubungan (Allah, manusia dan alam) atau juga dengan mengimplementasikannya langsung pada kehidupan dan menarik kesadaran dalam melakukan banyak hal. Dengan begitu, manusia akan bersaksi dan tidak sebatas percaya, secara otomatis menjadi manusia yang ideal.


- - - -

Penulis: Islahul Benk